Minggu, 01 Maret 2009

CeRpeN

DALEM

Gadis itu bernama Dewi. Ia murid baru di sini. Dewi mengikuti Bu Atik menuju kelas barunya. Langkahnya pasti meskipun hatinya cemas.
“Hari ini kita kedatangan murid baru,”kata Bu Atik di depan kelas.
Dewi lalu masuk setelah Bu Atik memberi kode. Seketika Dewi merasa canggung. Jelas sekali anak-anak di sini berbeda dengan teman-temannya dulu. Ia serasa tidak sedang berada di Jogja, daerah yang dulunya satu kerajaan dengan Solo, kota asalnya.
Tak ada baju seragam dimasukkan, potongan seragam tidalk standar dan sepatu yang dikenakan mereka pun berwarna-warni. Glek! Dewi menelan ludah.
Di sekolahnya yang lama aturan begitu ketat. Seragam, atribut, dan tata krama, semua diatur sekolah. Jika ada yang melanggar bisa diskors berhari-hari. Dewi meras bangga karena mematuhi aturan sekolah hingga tak pernah ditegur. Tapi kini, ia merasa tampak bodoh dengan baju seragam model standar yang dimasukkan kedalam rok serta sepatu hitam di kakinya .
Beberapa teman baru Dewi terlihat senyum. Entah senyum untuk menyapa atau untuk mengejek. Beberapa diantaranya juga terlihat berbisik-bisik. Dewi mengatur napas berusaha mengurangi rasa canggung yang semakin memuncak.
“Pindahan dari kampung mana nih Bu?” celetuk Kara tiba-tiba. Kontan saja celetukkan itu segera mengundang tawa riuh.
Duh Gusti paringono
sabar. Dalam hati Dewi mencoba menguatkan diri. Baru datang saja sudah digencet.
“Kara jaga sikap kamu!” Bu Atik menegur Kara.
“Oops,” celetuk Kara lagi tanpa merasa bersalah.
“Silahkan perkenalkan dirimu Dewi!” Bu Atik tersenyum ramah.
Dewi mengambil napas, “Nama saya Dewi Hapsari. Biasa dipanggil Dewi. Asal saya dari Solo.” Seketika suasana kelas menjadi tenang, tak ada yang berkomentar. Dewi bersyukur meski ada beberapa pasang mata memandang dengan pandangan cemooh.
Dewi dipersilahkan memilih tempat duduk. Hanya saja cuma tersisasatu kursi kosong, tepat di depan Kara. Duh Gusti. Dewi mengeluh dalam hati. Ia tak punya pilihan lain.
“Kamu bakalan terbiasa.” Cowok yang duduk di samping Dewi tersenyum ramah. Setelah itu ia segera berpaling pada temannya tanpa mengajak Dewi kenalan.
Bu Atik sudah mulai mengabsen muridnya satu per satu.
“Rico! Rahardian Rico”
“Saya Bu!” Jawab cowok yang duduk di samping Dewi sambil mengangkat tangan kanannya.
“Namaku Rico,” katanya kemudian pada Dewi sambil tersenyum ramah, membuat Dewi terpesona.
Bu Atik melanjutkan mengabsen. Dewi menunduk terdiam memainkan jari-jari tangannya karena tak ada yang mengajaknya mengobrol. Rico sendiri malah asyik dengan temannya. Pikiran Dewi melayang.
“Dewi Hapsari”
“Dewi Hapsari!” Dewi masih belum tersadar namanya dipanggil.
“Dew, nama kamu dipanggil tuh!” Rico mennguncang-guncang pelan bahu Dewi.
“Apa? Dipanggil?” Dewi tampak gugup.
“Dewi Hapsari!” Untuk ketiga kali namanya dipanggil Saking gugupnya Dewi menjawab,”Dalem (saya)”
Hening kelas mendengar jawaban Dewi. Berpasang-pasang mata mengarah kepadanya. Dewi menjadi salah tingkah. Keringat dingin mulai keluar dan air mukanya berubah pucat. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan segera setelah ia mengatakan kata itu.
“What?!
Kamu bilang apa? Dalem? Hari gini gitu lho!” Dengan keras Kara menyahut, suaranya membahana dalam kelas.
“Ndesa!”
“Awal yang tak begitu bagus!” Kata Rico keesokan paginya di kelas saat istirahat tiba.
Dewi menghela napas, “Aku kelepasan”
“Aku kira di sini seperti di Solo. Ndak terlalu mempermasalahkan penggunaan Bahasa Jawa,” tambahnya lagi.
“Kebanyakan siswa di sini pindahan dari kota lain, jadi jarang Bahasa Jawa digunakan. Parahnya kalau ada anak ketahuan pakai Bahasa Jawa mereka bakalan langsung dicap ndesa alias kampungan.” Ricomenjelaskan panjang lebar.
“Jadi, menurut kamu aku harus meninggalkan kebiasaan memakai Bahasa Jawa. Begitu?” Dewi meminta saran.
“Terserah kamu. Tapi, kalau kebiasaan kamu itu baik kenapa harus ditinggalkan. Zaman sekarang jarang sekali ada orang yang seperti kamu, bisa menguasai Bahasa Jawa dengan baik terutama yang halus tingkatannya ,” ujar Rico. Dewi merasa didukung.
“Selamat pagi Wong ndesa!” Kara dan sekutunya melewati bangku Dewi sambil tertawa.
“Jangan dimasukkan dalam hati. Kara memang begitu,suka cari perhatian dengan menjadikan orang lain sebagai lelucon,” kata Rico setelah Kara jauh.
“Terus aku harus gimana?” Dewi bertanya dengan mimik muka memelas.
“Diam saja supaya enggak dijadikan bulan-bulanan Kara,” Rico beranjak dari tempat duduknya diikuti oleh Dewi.
Di sepanjang koridor mereka ngobrol. Beruntung ada Rico di saat Dewi dijauhi teman-teman lainnya. Rico tak terlalu mempermasalahkan dialek Dewi. Bahkan saat beberapa kali berpapasan dengan teman yang mengejek Dewi,Rico tak merasa risih. Tiba-tiba hape di saku Dewi berbunyi.
“Halo” Dewi menjawab.
Inngih Budhe, nanti Dewi tunggu,” katanya kemudian. Rico memperhatikan bagaimana Dewi berbicara dengan sang penelepon. Bahasa Jawa halus dicampur dengan Bahasa Indonesia membuat percakapan itu tak terasa kaku.
Matur nuwun,” Dewi menutup pembicaraan.
“Dari tante kamu ya Dew. Pantes bahasanya halus banget,’ Rico berkomentar.
“Kok kamu bisa tahu?” Tanya Dewi polos.
“Sedikit-sedikit aku juga bisa Bahasa Jawa. Bisa tahu artinya tapi enggak bisa ngomong.” Rico tertawa kecil. Dewi tersenyum geli mendengarnya.
Bel masuk berbunyi nyaring. Rico dan Dewi segera menuju kelas. Di tengah jalan Kara sengaja menabrak Dewi hingga jatuh. Rico segera menolongnya. Bukannya minta maaf. Kara malah menuduh Dewi enggak lihat jalan.
Dewi hanya diam. Teringat dia dengan nasihat Rico, lebih baik diam kalau tidak mau jadi bulan-bulanan.
“Selamat siang Anak-anak!”
“Saya guru baru di sini. Mulai tahun ajaran ini saya akan mengajar kalian dua kali seminggu. Kalian bisa panggil saya Ibu Ratih.” Guru baru itu memperkenalkan diri.
“Ngajar apa nih Bu?” Tanya Kara lantang. Seperti biasa ia mencari perhatian.

“Saya akan mengajar pelajaran Bahasa Jawa.”
"Oh No! ” Teriak Kara. Teman-teman yang lain juga terlihat sama tidak senangnya.
“Sesuai dengan instruksi dinas pendidikan daerah mulai tahun ini pelajaran Bahasa Jawa mulai diajarkan di SMA”
“Berhubung waktu SD dan SMP kita tidak pernah diajarkan aksara Jawa, untuk pemanasannya kalian coba terjemahkan cerita huruf Jawa ini ke dalam huruf latin. Setelah itu nanti Ibu akan memanggil beberapa dari kalian maju untuk membacakan bergantian.” Bu Ratih membagikan lembaran bertuliskan huruf Jawa itu pada masing-masing anak.
Semua terlihat binggung mengerjakan tugas itu. Kara dan sekutunya tampak kasak-kusuk tak karuan. Bahkan beberapa kali Kara terlihat mengusap peluh yang menetes di dahinya. Ia juga terlihat mengerutkan dahi berusaha keras membaca aksara Jawa. Walau ia juara bertahan di sekolah, dia benar-benar mati kutu dibuatnya.
Bu Ratih mulai berkeliling memeriksa perkerjaan murid-muridnya. Ia memperhatikan dengan seksama. Beberapa kali ia membantu kesulitan muridnya. Ia maklum karena baru tahun ini Pelajaran Bahasa Jawa kembali diajarkan di bangku SMA.
“Mbak yang di dekat jendela.”
“Saya BU?” Dewi yang merasa terpanggil balik bertanya setelah saling berpandangan dengan teman lain yang duduk
di dekat jendela.
“Heran deh! Bahasa kampungannya enggak dipakai lagi. Padahal timing-nya lagi tepat banget.” Kara berbisik dari belakang. Dewi tak menggubrisnya.
“Sudah selesai?” tanya Bu Ratih, ia perhatikan Dewi sudah meletakkan bolpennya atau malah tak menyentuhnya sama sekali. Dewi mengangguk. Rico terheran-heran, ia sama sekali tak melihat ada tulisan huruf latin di kertas Dewi.
“Bisa bacakan di depan?” Bu Ratih bertanya. Dewi langsung maju ke depan kelas. Sekonyong-konyong rasa percaya dirinya tumbuh, seperti batere hape yang di-charge full.
Ing sawijining dina…Dewi mulai bersuara.
Pandawa anglakoni ukuman buang wonten alas Kamiaka ingkang dipunsebabaken polahipun Kurawa.” Dewi terus membacakan cerita itu sampai Bu Ratih menyuruhnya berhenti. Seluruh kelas terkesima melihatnya. Kara pun tak kalah tercengangnya. Mulutnya sampai menganga.
Terdengar tepukan membahana ketika Dewi selesai membaca. Beberapa anak laki-laki bersuit-suit memujinya. Ketika Dewi kembali ke tempat duduknya, Kara cepat-cepat menyembunyikan kekagumannya, gengsi kalau sampai ketahuan. Rico berkomentar,”Hebat banget! Sesuai dengan nama kamu!” Dewi hanya tersenyum mendengarnya. Sekarang ia sudah bisa menaklukan kelas.
Belum habis rasa kagum dari teman-temannya, terdengar suar ketukan di pintu kelas. Dari Guru BP rupanya.
Ada perlu apa Bu?” Tanya Bu Ratih.
“Anak-anak tolong diam sebentar !” Bu Ratih memberi kode pada siswanya.
“Saya ingin memanggil siswa di sini yang bernama Raden Ajeng Dewi Hapsari. Sudah ditunggu Budhe-nya,” kata Guru BP itu.
“Raden Ajeng?” Kara dan sekutunya berbisik sambil berpandangan mendengar gelar di depan nama Dewi, anak baru yang sering diejeknya ndesa gara-gara kelepasan satu kata saja.
Dewi segera keluar dari kelas sambil mengemasi barang-barangnya. Rico sudah diberitahu soal ini tadi. ”Anak-anak kerjakan paragraf selanjutnya!” Perintah Bu Ratih. Ia sendiri lalu keluar kelas berbincang-bincang dengan Guru BP dan wanita cantik yang menjemput Dewi.
Setelah itu Bu Ratih kembali masuk kelas dan memberitahu siswanya kalau Dewi harus mengurus paspor. Dia menjadi salah satu pemain terpilih di Festival Gendhing di Solo yang akan di kirim ke Belanda untuk misi kesenian. Wanita cantik yang menjemputnya tadi adalah tante sekaligus guru karawitannya.
Seketika Kara begitu merasa malu. Ternyata Dewi itu bukan anak kampung sembarangan. Dia keturunan ningrat. Dan jelas dia lebih hebat dari Kara. Dalem, kata yang sering diucapkan Dewi tengiang-ngiang di telinga Kara.
“Baik anak-anak. Kita teruskan membaca ceritanya. Kali ini Ibu akan memanggil……” Bu Ratih melihat daftar nama absen di kelas.
“Kara!”
Kara tersentak dari lamunannya, seketika ia menjawab, “Dalem!”
Berpasang-pasang mata pun memandang tak percaya ke arahnya.

Keterangan :
Duh Gusti paringono sabar =Ya Tuhan… berilah aku
kesabaran
Dalem
=Saya
Inggih Budhe
=Iya, tante
Matur nuwun
=Terima kasih
Ing sawijining dina…
=Pada suatu hari
Pandawa anglakoni ukuman
=Pandawa melaksanakan hukuman
buang wonten alas Kamiaka
dibuang ke hutan Kamiaka karena
ingkang dipunsebabaken
ulah Kurawa.
polahipun Kurawa

2 komentar:

  1. Aiii mUa'a ..
    ThNx yAo dHa viEw mY bLoGgeR ..
    nOw ..
    u cAn pOsT u'Re cMmEnT iN hEre ..

    BalasHapus
  2. u cAn adD mY :
    fS ~ putrie_ch@vnat.com
    fB ~ putrie_vnatt@yahoo.com
    YM ~ putrie_vvnatt
    eMaiL ~ putrie_vnatt@yahoo.com

    BalasHapus